ISTIHSAN dan ISTISHLAH - ushul fiqh



BAB II
PEMBAHASAN

A.    ISTIHSAN
1.      Pengertian Istihsan
            Istihsan dalam bahasa, berasal dari kata dasar hasana ((حسن, artinya baik atau indah, maksudnya adalah sesuatu yang dianggap baik dan indah. Seperti dalam Al- Qur’an dan Hadist :
v  Az- zumar : 17- 18, Berbunyi :
........ الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه
Artinya : ….. bergembiralah hamba- hamba- Ku yang mendengar perkataan, lalu mengikuti yang lebih baik daripadanya.
v  Hadist riwayat Imam Ahmad, Yaitu :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسنٌ
Artinya : Segala sesuatu yang dianggap baik oleh orang- orang muslim, maka dianggap suatu hal yang baik menurut Allah.
          Sedang Istihsan menurut istilah adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat atau lebih baik. Dengan demikian, Istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas nyata (jali) kepada qiyas khafi (samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhsish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
            Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status hukumnya tidak ada, maka penyelesaianya harus menggunakan dua sisi yang konteadiktif, yaitu :
·         Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.
·         Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak (khafi) menghendaki adanya ketetapan hukum lain.
Dari kenyataan itu, pada diri Mujtahid ada dalil yang dianggap lebih mendahulukan sisi ketidaktampakan (khafi), sehingga ia berpindah kepada sisi yang nyata (jali/ lahiriyyah). Begitu juga jika ada ketetapan hukum kulli pada diri mujtahid, namun ia menghendaki adanya dalil juz’i dari hukum kulli tersebut dan memberikan ketetapan hukum kepada juz’i-nya. Maka hal ini dalam syara’ dikenal dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan merupakan perpindahan penerapan suatu bentuk qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.[1]

2.      Dasar-dasar Istihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW,   antara lain :
 وَاتَّبِعُوْآ اَحْسَنَ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ.......
Artinya: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu .......” (QS. Az-Zumar : 55)
Dasar hadits Rasulullah SAW:
  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : خَيْرُ دِيْنُكُمْ أَيْسَرُهُ وَخَيْرُ الْعِبَادَةِ الْفِقْهُ .
Artinya:“Rasulullah SAW bersabda,”sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat rukunnya.”                                                                     (HR. Ibnu Abdul Barr).[2]

3.      Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan seperti diatas, para ahli hukum berbeda pandangan dalam menanggapi masalah sejauh mana validitas kehujjahan Istihsan dalam beristhinbathil hukm, sesuai dengan latar belakang keilmuan masing- masing[3], diantaranya :
v  Ulama’ Hanafiyah : Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqh-nya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
v  Ulama’ Malikiyah : Asy- Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.
v  Ulama’ Hanabilah : dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al- Jalal al- Mahalli dalam Kitab Syarh Al- Jam’ Al- Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk didalamnya golongan Hanabilah.
v  Ulama’ Syafi’iyah : Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul- betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat Syari’at”. Beliau juga berkata “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT, setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.[4]

4.      Macam- macam Istihsan & Contoh Produk Hukumnya
Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi,[5]yaitu:

Ø  Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contohnya yaitu : Masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
Ø  Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma). yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Contohnya: Dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lamaseseorang harus mandidan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
Ø  Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan. Contohnya : Dalam wakaf lahan pertanian, dalam qiyas jali wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut.
Ø  Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
Ø  Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
Ø  Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan.[6]

B.     ISTISHLAH (MASLAHAH AL- MURSALAH)

1.      Pengertian Istishlah (maslahah al- mursalah)
Maslahah adalah kalimat isim yang berbentuk masdar dan artinya sama dengan kata al- shulhu, yang artinya sinonim dengan kata al- manfa’at, yaitu kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.[7] Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah SWT) sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk- Nya.[8]
 Sedang menurut istilah para ahli Ushul berbeda- beda redaksi dalam mendefinisikannya, antara lain adalah :
اما المصلحة فهي يعبارة في الأصل عن جلب منفعة او دفع مضرة
Pada dasarnya Mashlahah adalah meraih kemanfaatan atau menolak kemadharatan.

ان المصلحة عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع الحكيم لعباده في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسلهم واموالهم.
Maslahah adalah bentuk perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh syar’i (Allah SWT) kepada hamba-Nya untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda mereka.

المصلحة هي المحافظة علي مقصود الشارع بدفع المفاسد عن الخلق
Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menolak segala sesuatu yang dapat merusakkan makhluk.
Jadi Mashlahah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak memiliki dasar sebagai dalilnya dan juga tidak ada dasar sebagai dalil yang membenarkannya. dalam artian bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan kemashlahatan umat manusia, yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia. Kemaslahatan yang dituntut oleh lingkungan dan hal- hal baru setelah tidak ada wahyu, sedangkan syari’ tidak menerapkan dalam suatu hukum dan tidak ada dalil syara’ tentang dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu, maka itulah yang disebut sifat sesuai yang  universal atau dalam istilah lain disebut mashlahah Al- mursalah.[9]

2.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Adapun syarat-syarat untuk dapat berijtihad dengan maslahah mursalah diantaranya adalah sebagai berikut :
             a)          Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.
             b)          Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum.
             c)          Yang dinilai akal sehat dalam suatu maslahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalm bentuk nash maupun ijma’ ulama terdahulu.
            d)          Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup.[10]

3.      Kehujjahan Istishlah (maslahah al- mursalah)
Dalam mensikapi persoalan kehujjahan teori Mashlahah Mursalah, para ahli hukum berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu masing- masing, yaitu :
1)      Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.[11]
2)      Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama’ syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.[12] Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang masalah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashal yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
3)      Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat. Diantara ulama yang paling banyak melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan : Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahan manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.
Adapun syarat- syarat yang telah disepakati Ulama’ ushul untuk menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah adalah[13] :
a.       Berupa kemashlahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar- benar menarik suatu manfaat dan menolak bahaya. Jika hanya didasarkan bahwa penetapan hukum itu dimungkinkan akan menarik suatu manfaat, tanpa membandingkan dengan yang menarik bahaya, berarti didasarkan pada kemaslahatan yang semu.
b.      Berupa kemashlahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia, bukan perorangan atau bagian kecil dari mereka.
c.       Penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan oleh nash atau ijma’.

3.      Macam- macam Istishlah (maslahah al- mursalah)
 Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu dilihat dari segi substansi/ tingkatan dan eksistensinya[14].  Dari  segi tingkatan ada tiga bagian, yaitu:
1)      Mashlahah Dlaruriyyah (Primer) : maslahah yang berkaitan dengan penegakan atau kepentingan agama dan dunia, dimana tanpa kedatangannya akan menimbulkan cacat dan cela. Ini merupakan dasar utama bagi beberapa maslahah lain. Contoh : Perkara-perkara yang  menjadi  tempat   tegaknya kehidupan manusia dapat  dikembalikan  kepada  lima  perkara,  yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:
a.       Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
b.      Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
c.       Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
d.      Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
e.       Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan  dalam  taraf  ini  mencakup  lima  prinsip  dasar universal dari pensyari’atan atau disebut  juga dengan konsep  maqosidus  syar’i. Jika hal  ini  tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
2)      Mashlahah Hajiyyah (Skunder) : mashlahah yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesukaran dalam kehidupan mukhallaf dan memberikan kelonggaran. Ini merupakan penyangga dan penyempurna bagi kepentingan primer. Contoh : bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang  Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara  kemerdekaan   pribadi,   kemerdekaan   beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan  beragama,  luaslah  gerak langkah hidup manusia.  Melarang  / mengharamkan    rampasan dan  penodongan  termasuk juga dalam hajjiyah.
3)      Mashlahah Tahsiniyah (pelengkap) : mengambil apa- apa yang sesuai dengan apa yang terbaik dari kebiasaan dan menghindari cara- cara yang tidak disenangi oleh orang baik dan bijak. Ini merupakan salah satu penopang bagi kepentingan hajiyyah. Contoh : diharamkannya  memalsu barang.  Perbuatan  ini  tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya),  tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas.  Jelaslah  bahwa  dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta  (ashul mal),  akan  tetapi   berbenturan   dengan   kepentingan   orang yang membelanjakan hartanya,  yang   mungkin   masih   bisa   dihindari.  Seperti juga contoh pensyari- ‘atan thoharoh    sebelum    shalat,    anjuran    berpakaian   dan   berpenampilan   rapi pengharaman makanan-makanan yang tidak baik.



Dilihat  dari  segi eksistensi  atau wujudnya  para ulama ushul, juga membagi mashlaha menjadi tiga macam[15], yaitu:
1)      Maslahat Mu’tabarah : kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i  dan  terdapatnya  dalil  yang  jelas. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan   oleh   nash,  seperti memelihara   agama,  jiwa,  keturunan  dan   harta  benda,  yang selanjutnya  kita  sebut dengan  maqashid   asy-syari’ah.   Oleh   karena   itu,    Allah  Swt   telah menetapkan agar berusaha untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum   pemabuk   demi   pemeliharaan   akal,   menghukum   pelaku   zina  dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan  maslahah  mu’tabarah  wajib  ditegakkan  dalam kehidupan,  karena  dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
2)      Maslahah Mulgah : maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash.   Dengan kata lain,   maslahat  yang  tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’  menyikapi maslahat  ini  dengan  menolak   sebagai  variabel  penetap hukum (illat).   Contoh: menyamakan pembagian  warisan  antara  seorang  perempuan  dengan  saudara  laki-lakinya.  Penyamaan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamaan ini dengan   alasan  kemaslahatan,  penyelesaian  kasus  seperti  inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgah.  
3)       Maslahah Mursalah : maslahat yang secara eksplisit tidak ada  satu  dalil pun  yang  mengakuinya  ataupun  menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang  sejalan   dengan  tujuan  syara’ yang  dapat  dijadikan  dasar  pijakan  dalam   mewujudkan kebaikan  yang  dihajatkan  oleh   manusia   serta   terhindar   dari   kemudhorotan.  Karena tidak ditemukan   variabel  yang   menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai  kebolehannya  dijadikan  illat hukum.  Kalangan  Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah,  Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
istihsan adalah perpindahan penerapan suatu bentuk qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.
Kehujjahan istihsan : Ulama’ Hanafiyah, Ulama’ Malikiyah, Ulama’ Hanabilah mengakui adanya istihsan, namun ada sebagian ulama’ dari kalangan Hanabilah yang mengingkarinya. Sedangkan dari Ulama’ Syafi’iyyah secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan.
Pengklasifikasian istihsan ada enam yaitu : Istihsan bil an-Nash, Istihsan bi al-Ijma, Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi, Istihsan bi al-maslahah, Istihsan bi al-Urf , Istihsan bi al-Dharurah.
Mashlahah Mursalah : Kemaslahatan yang dituntut oleh lingkungan dan hal- hal baru setelah tidak ada wahyu, sedangkan syari’ tidak menerapkan dalam suatu hukum dan tidak ada dalil syara’ tentang dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu.
Kehujjahan Maslahah mursalah :
Ø  Tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.
Ø  Dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama’ syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Syarat- syarat tersebut adalah : Berupa kemashlahatan yang hakiki, Berupa kemashlahatan umum, Penetapan hukum tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan oleh nash atau ijma’.
Macam- macam istishla’ (maslahah mursalah) :
·         Dari sisi substansinya : Mashlahah Dlaruriyyah (Primer), Mashlahah Hajiyyah (Skunder), Mashlahah Tahsiniyah (pelengkap).
·         Dari sisi eksistensinya : Maslahat Mu’tabarah, Maslahah Mulgah, Maslahah Mursalah.



DAFTAR PUSTAKA

Ma’shum Zainy Al- Hasyimiy. Muhammad, Ilmu Ushul- Fiqh. Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Al-Syatibi, Abu Ishak. al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah. Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, 1975.
http// GORESAN ILMU: Makalah Istihsan. Ahad, 26/04/2015, pukul 10:20 WIB.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Laskar Lawang Songo ’12. Term Syari’at & Cita Kemashlahatan. Kediri: Lirboyo Press, 2012.
Umam, Chaerul. Ushul Fiqh 1. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: Rosdakarya, 2013.








[1] Muhammad Ma’shum Zainy Al- Hasyimiy, Ilmu Ushul- Fiqh (Darul Hikmah:Jombang, 2008).hal 106-107.
[2] Chaerul umam, Ushul Fiqh 1(Bandung : Pustaka Setia,1998), 124
[3] Ibid, hal 107.
[4] Rachmat Syafe’i, ilmu Ushul Fiqih (Pustaka Setia: Bandung,1999),hal 112
[5] Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 206-208.
[6] http// GORESAN ILMU: Makalah Istihsan, Ahad, 26/04/2015, pukul 10:20 WIB.
[7] Muhammad Ma’shum Zainy Al- Hasyimiy, Ilmu Ushul- Fiqh (Darul Hikmah:Jombang, 2008).hal 116.
[8] Rachmat Syafe’i, ilmu Ushul Fiqih (Pustaka Setia: Bandung,1999),hal 117.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Pustaka Amani: Jakarta,2003), hal 110-111.
[10] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh(Bandung : Rosdakarya,2013), 108
[11] Muhammad Ma’shum Zainy Al- Hasyimiy, Ilmu Ushul- Fiqh (Darul Hikmah:Jombang, 2008).hal 120
[12] Ibid.
[13] Laskar Lawang Songo ’12, Term Syari’at & Cita Kemashlahatan ( Lirboyo Press: Kediri, 2012), hal 161-162.
[14] Muhammad Ma’shum Zainy Al- Hasyimiy, Ilmu Ushul- Fiqh (Darul Hikmah:Jombang, 2008).hal 118-119.

Comments

Popular Posts