MAQAM TASAWUF: TAWAKKAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Maqam yaitu istilah dalam Tasawuf untuk menyebut berbagai kedudukan pendakian (tempat/ tingkatan/ derajat) rohani yang harus ditempuh salik agar bisa wushul (sampai) kepada Allah. Di Nusantara, maqam digunakan juga untuk menyebut petilasan (jejak) dan kuburan (maqbaroh).
Bagi seseorang yang memasuki dunia tasawuf ada tiga proses yang harus dilalui. Masing-masing proses diatas memiliki tiga tingkatan (maqam) dalam menjalani titian tasawuf. Dalam setiap titian pelakunya memiliki situasi-situasi tertentu. Pertama, takhalli (pembersihan diri) yang meliputi taubat, wara’i dan zuhud; kedua, Tahalli (menghias diri)  yang meliputi tawakal, ridha dan syukur; ketiga, Tajalli (manisfestasi) yang meliputi mahabbah, tuma’ninah dan ma’rifat.
Dalam hal ini penulis akan mengkaji salah satu dari bagian Tahalli (menghias diri) yaitu tawakal. Disini penulis mengambil judul “Maqam Tawakal dan relevansinya dengan kehidupan nyata”.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pengertian tawakkal?
2.         Bagaimana kedudukan tawakal?
3.         Bagaimana keutamaan tawakal?
4.         Bagaimana hikmah tawakal?
5.         Bagaimana relevansi tawakal dengan kehidupan nyata?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Tawakkal
Tawakkal secara etimologi berasal dari bahasa Arab tawakkul yang berarti bersandar atau mempercayakan diri. Dalam termiologi agama, tawakkal biasa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.[1]
Al-Imam Ahmad, “Tawakal adalah amalan hati. Karena ia merupakan amalan hati, maka ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal dengan anggota tubu. Ilmu juga bukan termasuk masalah ilmu ataupun teori”.
Biysr Al-Hafi berkata,”Adakalanya seorang yang berkata, ‘aku tawakal kepada Allah’, tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia benar-benar tawakal kepada Allah tentu dia meridhai apapun yang dilakukan Allah terhadap dirinya”.
Tawakal merupakan tepat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati oleh orang-orang yang singgah disana, karena luasnya kaitan tawakal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakal, yang bisa disinggahi orang-orang mukmin dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada pada tawakal, sekalipun kaitan tawakal  mereka berbeda-beda.[2]

B.       Kedudukan Tawakal
Dalam hal ini Imam Al-Ghozali memandang bahwa tawakal adalah suatu tingkatan yang tinggi diantara tingkatan-tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah.[3]
Lebih jauh lagi Ibnu Qoyyim berkata, “kedudukan tawakal merupakan kedudukan yang paling luas dan menyeluruh, sementara dibuat semarak oleh orang-orang yang menyinggahinya, karena keluasan hal-hal yang berkaitan dengan tawakal”. Keluasan tawakal itu sendiri bahkan bisa dimasuki orang-orang mukmin dan kafir juga orang yang baik dan buruk.[4]
Tawakal dalam kajian sufi terdiri dari tiga tingkatan. Pertama, tawakal artinya tenteramnya hati terhadap apa yang telah dijanjikan Allah. Tawakal seperti ini adalah maqom bidayah (pemula, awam). Kedua, taslim artinya menyerahkan urusan kepada Allah, karena Dia telah mengetahui keadaan dirinya. Ini adalah maqom mutawassith (menengah, para wali Allah). Ketiga, taslim artinya merasa merasa rida menerima ketentuan Allah (maqom nihayah, khawah al-khawash).[5]
Menurut Al-Ghazali menyebutkan tiga derajat At-tawakkal:
  1. Menyerahkan diri kepada Allah SWT ibarat seseorang menyerahkan perkaranya kepada pengacara yang sepenuhnya dipercayakan menanganinya dan memenangkannya.
  2. Menyerahkan diri kepada Allah ibarat seorang bayi menyerahkan diri kepada ibunya.
  3. Derajat tinggi, yakni menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT ibarat jenazah ditengah petugas yang memandikannya.[6]
Di dalam Asli-Shahihain disebutkan tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surge tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayai mantra, tidak meramal yang buruk buruk, tidak mengobati dengan sundutan api, dan hanya bertawakal kepada Allah.


C.      Keutamaan Tawakal
Tawakal merupakan salah satu ibadah hati yang utama dari berbagai akhlaq iman yang agung. Tawakal termasuk derajat muqarrabin yang paling tinggi, bahkan menurut Ibnu Qoyyim berkata, tawakal adalah separuh agama dan separuh lainnya adalah ibadah.[7] Adapun dalam Al-Qur’an  Allah berfirman dalam Q.S. Al-Maaidah : 23.
Artinya: “....... dan bertawakallah kepada Allah, apabila kamu semua itu orang-orang yang beriman”.
Ayat diatas menjelaskan bahwa bagi orang-orang yang bertawakal kepada Allah, maka akan dicintai-Nya, serta dicukupkan segala keperluannya.[8]
Di dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan dari Umar bin Khatab secara marfu’, sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal niscaya Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.
Dengan demikian orang yang bertawakal akan mendapat keuntungan yang besar. Karena sesungguhnya seorang yang mencintai tidak akan menyiksa, tidak akan jauh dan tidak akan menutupi dirinya.
D.      Hikmah Tawakal
a.    Ketenangan dan ketentraman
Sikap tawakal akan memberikan hikmah yang baik berupa ketenangan dan ketentraman dalam jiwa, walaupun orang-orang merasakan pesimis, takut, tidak tentram, ragu-ragu dan perasaan yang lain, akan tetapi bagi orang yang bertawakal tidak merasakan seperti itu. Bagi orang yang tawakal merasakan optimis.[9] Diri yang telah mencapai ketentraman yang diberi nama oleh Qur’an Nafsul Muthmainnah kegembiraannya ditimpa susah sama saja dengan kegembiraannya ditimpa senang. Hati itu senantiasa dipenuhi redha. Redha yang selalu jadi pat hubungan antara Abid dengan Ma’bud. Rasulullah SAW bersabda:
ان الله عزوجل جعل الروح والفرح فى الرضا واليقين وجعل الغم والحزن فى الشك والسخط
“Allah menjadikan ketentraman dan kesukaan pada redha dan yakin dan Allah menjadikan pula kesusahan dan kedukaaan pada syak dan mendongkol”
b.    Tidak putus asa
Orang yang bertawakal kepada Allah tidak mengenal putus asa akan dirinya sebab tawakal itu sendiri tidak hanya pasrah tanpa sebab, akan tetapi usaha, karena itu akan membawa keberhasilan seseorang, akan tetapi kekuasaan Allah lah yang menentukan.
Jika usaha yang dilakukan gagal, maka ia menerimanya sebagi musibah, ujian dari Allah yang harus dihadapi dengan sabar, jika berhasil ia akan bersyukur, tidak sombong dan tidak membanggakan dirinya.[10]
c.    Ridha
Ridha adalah salah satu dari buah tawakal, dan itu termasuk dari tingkatan yang tertinggi bagi orang yang dekat dengan Allah.[11]
d.    Kekuatan
Hikmah tawakal yang terakhir adalah spiritual dan jiwa. Semua kekuatan material, kekuatan sejata, kekuatan uang dan kekuatan individu menjadi kecil dihadapannya. Allah yang menguasai segalanya, aka jika kita berusaha maka Allah pun tidak segan-segan memberikan imbalan yang sesuai dengan usaha itu.[12]
E.       Relevansi Tawakal
Pada hakikatnya tawakal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakekatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah:
1.    Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakal.
2.    Menetapkan sebab akibat. Para sufi berpendapat bahwasanya penting mengerjakan sebab dan yang demikian itu tidaklah bertentangan dengan tafiwdh (menyerahkan urusan) kepada Allah. Adapun dengan sebab adalah untuk memperoleh sesuatu, dengan kata lain bekerja atau berusaha untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Para sufi berkata: Kasb (berusaha) adalah sunnah Rasul dan kasb itu merupakan iadah. Adapun tawakal ialah hal (keadaan hati) dari pada rosul dan tawakal itu merupakan ubudiyah. Jadi keduanya merupakan kemestian dan tidak bertentangan satu dengan yang lain.[13]
3.    Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Hakikat tawakal adalah tauhidnya hati.
4.    Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya.
5.    Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakalmu kepada-Nya.
6.    Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah.
7.      Pasrah, ini merupakan ruhnya tawakal, inti dan hakekatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan karena dipaksa dan terpaksa.
Siapa yang benar dalam tawakalnya kepada Allah untuk mendapat sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai Allah dan diridhai Allah maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji, jika sesuatu yang diinginkannya dibenci Allah maka apa yang diperolehnya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu bersifat mubah, maka yang dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya. Seperti yang tercantum dalam syair seorang sufi Ibnu Athailah As-Sakandari dalam kitab AL-hikam:
وعسى ان تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى ان تحبوا شيئا وهو شرلكم والله يعلم وانتم لاتعلمون
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tawakal merupakan tepat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati oleh orang-orang yang singgah disana, karena luasnya kaitan tawakal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakal, yang bisa disinggahi orang-orang mukmin dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada pada tawakal, sekalipun kaitan tawakal  mereka berbeda-beda.
Imam Al-Ghozali memandang bahwa tawakal adalah suatu tingkatan yang tinggi diantara tingkatan-tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah.
Diantara hikmah dari tawakal adalah menenangkan dan menetramkan jiwa, tidak putus asa, ridha, dan kekuatan.

DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Drs. Totok M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Tasawuf. AMZAH, 2015.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Beirut: Darul Fikr, 1989.
Al Ghozali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulumuddin. jilid IV.  Beirut: Darul Kitab Al Ilmiyah, [t. th]
al qardhawy, Yusuf.  Tawakal. cet. 1, terj. Katsur Suhardi.  Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996.
Jumantoro, Drs. Totok, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Tasawuf. AMZAH, 2015.
Al-Ghozali, Imam. Tauhid dan Tawakal. cet. III. Solo: Ramadhani, 1992.
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi. jilid IV. Beirut: Dar Al-Fikr, [t.th]


[1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, ( AMZAH, 2015), hlm. 266
[2] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, (Beirut: Darul Fikr, 1989), hlm. 240
[3] Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, jilid IV, (Beirut: Darul Kitab Al Ilmiyah, [t. Th], hlm. 259
[4] Yusuf al qardhawy, Tawakal, cet. 1, terj. Katsur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996), hlm. 53.
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, ( AMZAH, 2015), hlm. 268.
[6] Ibid.
[7] Yusuf al qardhawy, Tawakal, cet. 1, terj. Katsur Suhardi, hlm. 14
[8] Imam Al-Ghozali, Tauhid dan Tawakal, cet. III, (Solo: Ramadhani, 1992), hlm. 10
[9] Yusuf al qardhawy, Tawakal, cet. 1, terj. Katsur Suhardi, hlm. 113
[10] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid IV, (Beirut: Dar Al-Fikr, [t.th], hlm.135
[11] Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, jilid IV, (Beirut: Darul Kitab Al Ilmiyah, [t. Th], hlm. 362
[12] Yusuf al qardhawy, Tawakal, cet. 1, terj. Katsur Suhardi, hlm. 137
[13] Totok Jumantoro dan  Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, hlm. 266

Comments

  1. Alhamdulillah, terimakasih penulis karena artikelnya bisa melengkapi pengetahuan saya. Boleh juga mampir di Blog saya tentang "Penakluk Konstantinopel 1453" di penadiksi.com. Terimakasih..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts